This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 20 Desember 2009

MEMBANGUN MORALITAS SISWA



Oleh: Ahmad Taufik, S.Pd.
Guru SMPN 1 Bojongasih

SAAT ini, telah terjadi kemerosotan moral di kalangan para remaja, termasuk anak-anak sekolah. Karena itu, dibutuhkan peran aktif institusi sekolah untuk membangun moral yang lebih baik. Maka, perlu dicari sebab-sebab dan cara penanggulangannya agar krisis moral tidak merebak lebih luas lagi.


Penyebab Moralitas Kurang Diperhatikan

Apabila kita amati, ada beberapa penyebab moral siswa kurang mendapatkan perhatian sebagian institusi sekolah. Di antaranya, sebagian kalangan beranggapan bahwa moralitas tidak bisa dipakai untuk mencari uang/pekerjaan. Yang bisa dipakai sebagai syarat untuk mencari pekerjaan/uang adalah gelar pendidikan, kemampuan berbahasa, kecakapan berkomputer, dan sebagainya sehingga muncul pemahaman bahwa mendidik moral tidak terlalu diperlukan. Itulah orientasi yang salah di kalangan masyarakat kita: pembangunan moral berorientasi pada materi.

Pendidikan moral di dalam sekolah dianggap kurang penting karena moralitas tidak menjadi penilaian kelulusan siswa. Ada pendapat bahwa pembangunan moral adalah tanggung jawab guru-guru informal atau guru-guru spiritual, seperti ulama, kiai, pendeta, biksu, dan yang lainnya. Urusan moral bukan tanggung jawab guru-guru formal di sekolah.

Ada pula anggapan bahwa urusan moral adalah urusan privasi seseorang dengan agama dan Tuhan sehingga masyarakat pada umumnya dan guru sekolah pada khususnya tidak berhak terlalu mencampuri urusan privasi tersebut. Sebenarnya, anggapan-anggapan seperti itu kuranglah tepat karena pembangunan moral generasi penerus bangsa ini menjadi tanggung jawab bersama. Baik pemerintah maupun masyarakat, baik sekolah maupun orang tua dan lingkungan di sekitarnya. Namun, sekolah seharusnya memosisikan diri sebagai ujung tombak karena mendapatkan amanat dari konstitusi negara mengenai sistem pendidikan nasional.


Pembangunan Moral di Sekolah

Untuk mengusahakannya, ada beberapa hal yang perlu dilakukan sekolah. Langkah pertama adalah reorientasi. Yakni, mengubah orientasi yang salah tentang pembangunan moral di sekolah. Anggapan-anggapan yang salah sebagaimana disebut di atas harus dibuang jauh. Setelah itu, menanamkan pemahaman bahwa mendidik moral siswa oleh sekolah sangat perlu dan penting (tidak berorientasi pada materi saja) dan menjadi tanggung jawab guru sekolah (bukan hanya tanggung jawab guru spiritual) serta tidak melanggar hak privasi siswa.

Langkah selanjutnya, hendaknya persoalan moralitas siswa menjadi satu penilaian khusus dalam kegiatan belajar mengajar. Bahkan, kalau perlu, masalah moral dijadikan salah satu faktor pertimbangan kenaikan kelas dan kelulusan siswa. Hal itu sangat diperlukan untuk memacu siswa agar selalu memperbaiki akhlaknya.

Misalnya, ada seorang siswa yang nilai akademiknya bagus tapi dia sering membuat onar, mabuk-mabukan, bahkan mengutil/mencuri barang milik temannya, sepatutnya dia tidak naik kelas atau tidak diluluskan. Demikian juga siswa yang nilai akademiknya jelek. Meski siswa itu berperangai baik, sepatutnya tetap tidak diluluskan kalau memang tidak memenuhi standar nilai kelulusan. Itu semata-mata bertujuan untuk menjaga kualitas pendidikan.

Hal berikutnya yang perlu dikaji, apakah pendidikan moral itu dijadikan satu mata pelajaran tersendiri ataukah tidak? Kalau dipertimbangkan, memang pendidikan moral perlu dijadikan mata pelajaran sendiri. Tapi, itu tidak menjadi suatu keharusan dan bukan persoalan yang mendasar. Yang terpenting, setiap mata pelajaran yang ada harus disertai nilai-nilai moral. Maksudnya, mata pelajaran apa pun hendaknya disisipi pesan-pesan moral. Kalau perlu, ada sasaran-sasaran tertentu yang harus dicapai dalam setiap jenjang pendidikan.

Jadi, pembangunan moral siswa adalah tanggung jawab lintas mata pelajaran. Seandainya ada mata pelajaran khusus tentang moral, itu bukan tanggung jawab satu atau dua guru, tapi semuanya bertanggung jawab.


Metode Memperbaiki Moral Siswa

Untuk meningkatkan peran sekolah dalam upaya menumbuhkembangkan akhlak yang mulia, ada banyak hal yang perlu dilakukan, antara lain, sebagai berikut:

Melakukan komunikasi dan kerja sama antara guru dan wali murid untuk bersama-sama membangun budaya moral yang baik ketika ada di sekolah maupun di lingkungan tempat tinggal. Pembangunan moral harus dilakukan secara berkesinambungan kapan pun dan di mana pun. Hasil yang diraih tidak akan maksimal bila pendidikan moral hanya dilakukan di sekolah tanpa diteruskan di lingkungan rumah atau hanya dilakukan di rumah saja tanpa dilanjutkan di sekolah.

Merangsang jiwa anak didik untuk berbuat baik dan meninggalkan yang jelek dengan memberikan contoh-contoh tindakan dari guru kepada anak didiknya sebagaimana semboyan tut wuri handayani. Koordinasi antarguru agar semua bekerja sama membina moralitas siswa dalam setiap mata pelajaran masing-masing. Misalnya, guru mata pelajaran sejarah menyisipkan pesan moral dengan memberi tugas, "Carilah apa hikmah yang dapat diambil dalam kehidupan kita sehari-hari tentang peristiwa Sumpah Pemuda 1928". Guru mata pelajaran bahasa Inggris: "Buatlah kata-kata mutiara yang dapat kita praktikkan dalam bentuk bahasa Inggris".

Dengan tetap mengutamakan mutu dari disiplin ilmu yang disampaikan, hendaknya pesan-pesan moral diberikan dalam semua mata pelajaran, tidak terlalu sering agar tidak jenuh, dan tidak terlalu jarang agar tidak diabaikan.

Mengupas lebih dalam tentang bahaya-bahaya atau akibat-akibat buruk dari perbuatan-perbuatan tercela. Misalnya, menceritakan bahaya narkoba, bahaya tawuran, bahaya pergaulan bebas, bahaya berbicara tanpa kontrol, bahaya memfitnah, bahaya mencuri, bahaya melanggar hukum agama. Caranya adalah dengan memberikan bukti-bukti konkret di tengah masyarakat.

Menyampaikan kepada siswa tentang manfaat-manfaat yang akan kita nikmati bila melakukan hal-hal positif di tengah masyarakat dengan bukti-bukti yang mudah diterima pikiran mereka. Memberikan sanksi kepada siswa yang melakukan perbuatan tercela agar bisa menimbulkan efek jera dengan terlebih dahulu ada peringatan-peringatan dari sekolah. Sanksi yang dijatuhkan pun kalau bisa mengandung unsur pendidikan.

Demikian juga siswa yang bermoral baik supaya diberi pujian dan sanjungan atau penghargaan (tidak harus berupa materi) agar mereka lebih termotivasi berbuat kebaikan lagi. Bila mendapati siswa yang menyendiri, termenung, linglung, kurang respons dengan pelajaran, pandangannya kosong, atau hal-hal lain yang di luar kebiasaannya, guru perlu melakukan pendampingan agar tidak menjurus pada hal-hal negatif.

Menyugesti jiwa anak didiknya bahwa kamu mampu berubah, kamu bisa meninggalkan perbuatan-perbuatan itu, dan kamu pasti bisa lebih baik, pasti bisa asal siswa mau. Pada akhirnya, harus diupayakan sekuat tenaga agar sedapatnya bisa memancing siswa menumbuhkan kesadaran sendiri untuk memperbaiki moral. (*)

Sumber:
Jawa Pos,19 Februari 2008